Pengertian Supersemar
Supersemar Versi Satu
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang
dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam
buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan
Indonesia mengatakan
bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah
supersemar yang dikeluarkan oleh
Presiden
Soekarno di
Istana Bogor.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SURAT PERINTAH
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik
baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan
Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan
djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRIdan Rakjat untuk
memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin
Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja
III. Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN
DARAT
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar
Revolusi:
1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk
terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan
dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S.
demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan
dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima
Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut
dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR
REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
Sejarah Keluarnya
Supersemar
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi
ketika pada tanggal
11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan
Kabinet
Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet
100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral
Sabur sebagai
panglima pasukan pengawal presiden'
Tjakrabirawa melaporkan
bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang
belakangan diketahui adalah Pasukan
Kostraddibawah
pimpinan Mayor Jendral
Kemal Idris yang bertugas
menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat
G-30-S di
antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I
Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana
Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III
Chaerul Saleh berangkat
ke Bogor dengan
helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang
akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II
Dr.J. Leimena yang
kemudian menyusul ke
Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral
Soeharto (yang
kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku
Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral
Ahmad Yani yang
gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat
itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai
ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario
Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi
(AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral
M.yusuf, Brigadir Jendral
Amirmachmud dan
Brigadir Jendral
Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada
malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden
Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan
bahwa Mayjend Soeharto mampu menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila
diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya
untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan
Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat
perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang
populer dikenal sebagaiSupersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto
selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal
12 Maret 1966 pukul pukul
01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen
Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan
Sudharmono,
dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend
Sutjipto,
Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar
konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga.
Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto.
Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks
tersebut sampai surat Supersemar itu tiba.
Versi resmi mengenai lahirnya Supersemar adalah sebagai
berikut. Menjelang akhir tahun 1965, operasi militer terhadap sisa-sisa G-30-S
boleh dikatakan sudah selesai. Hanya penyelesaian politik terhadap peristiwa
tersebut belum dilaksanakan oleh Presiden Soekarno. PKI belum dibubarkan.
Sementara krisis ekonomi tambah parah. Laju inflasi mencapai 650%. Tanggal 13
Desember 1965 bahkan dilakukan devaluasi, uang bernilai Rp 1.000 turun menjadi
Rp 1. Sementara itu harga-harga membubung naik. Tak ayal lagi, demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) marak di
mana-mana. Selama 60 hari, dengan dipelopori para mahasiswa Universitas
Indonesia, seluruh jalanan ibu kota dipenuhi demonstran. Mereka menyampaikan
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya: Bubarkan PKI, Retool Kabinet
Dwikora, dan Turunkan Harga.
Sementara itu, sejak terjadinya peristiwa Gerakan 30
September 1965, terjadi perbedaan pendapat antara Presiden Soekarno dengan
Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Perbedaan pendapat berfokus pada cara untuk mengatasi krisis nasional yang
semakin memuncak setelah terjadinya G-30-S tersebut. Soeharto berpendapat bahwa
pergolakan rakyat tidak akan reda selama PKI tidak dibubarkan. Sementara itu
Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu
bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia.
Perbedaan pendapat ini selalu muncul dalam pertemuan-pertemuan berikutnya di
antara keduanya. Soeharto kemudian menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal
mendapat kebebasan bertindak dari presiden.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet (yang dijuluki
"Kabinet 100 Menteri" karena jumlah menterinya mencapai 102 orang)
mengadakan sidang paripurna untuk mencari jalan ke luar dari krisis. Sidang
diboikot, para mahasiswa melakukan pengempesan ban mobil di jalan-jalan menuju
ke istana. Ketika Presiden berpidato, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa
(Pengawal Presiden) memberitahukan bahwa istana sudah dikepung pasukan tak
dikenal. Meskipun ada jaminan dari Pangdam Jaya, Brigjen Amir Mahmud bahwa
keadaan tetap aman, Presiden Soekarno yang tetap merasa khawatir, pergi dengan
helikopter ke Istana Bogor bersama Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Dr.
Chairul Saleh.
Setelah itu, tiga perwira tinggi AD, Mayjen Basuki Rahmat
(Menteri Urusan Veteran), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen
Amir Machmud, dengan seizin atasannya yaitu Jendral Soeharto yang menjabat
Menpangad merangkap Pangkopkamtib, pergi menemui Presiden Soekarno di Bogor. Di
sana ketiganya mengadakan pembicaraan dengan Presiden dengan didampingi ketiga
Waperdam, yaitu Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, dan Dr. J. Leimena. Pembicaraan
yang berlangsung berjam-jam itu berkisar seputar cara-cara yang tepat untuk
mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan presiden.
Akhirnya, Presiden Soekarno memutuskan untuk membuat surat
perintah yang ditujukan kepada Jenderal Soeharto, yang intinya adalah memberi
wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan memulihkan keamanan
negara, menjaga ajaran Bung Karno, menjaga keamanan Presiden, dan melaporkan
kepada Presiden. Jadi, Soeharto diberi kewenangan untuk mengambil semua tindakan
yang perlu guna mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan presiden. Teks
surat dirumuskan oleh ketiga wakil perdana menteri bersama ketiga perwira
tinggi AD yang disebut di atas ditambah dengan Brigjen Sabur sebagai
sekretaris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh presiden. Serah terima
secara resmi Surat Perintah 11 Maret 1966 dari ketiga perwira tinggi TNI-AD
kepada Soeharto dilaksanakan pada tanggal 11 Maret itu juga, sekira pukul 21.00
WIB, bertempat di markas Kostrad. Surat inilah yang dikenal sebagai Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
Lepas tengah malam tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto
membubarkan PKI dengan dasar hukum surat perintah tersebut. PKI beserta
ormas-ormasnya dilarang di seluruh Indonesia terhitung sejak 12 Maret 1966. Seminggu
kemudian, 15 menteri yang dinilai terlibat dalam G-30-S ditahan. Dengan
demikian, dua dari Tritura, sudah dilaksanakan. Popularitas Soeharto pun
meningkat. Ternyata setelah Supersemar dilaksanakan, kewibawaan Presiden
Soekarno tidak pulih. Antara tahun 1966-1967 terjadi dualisme kepemimpinan
nasional, yaitu Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai Pengemban
Supersemar yang dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/66.
Soeharto kemudian ditugaskan membentuk Kabinet Ampera yang
dibebani tugas pokok memulihkan perekonomian dan menstabilkan kondisi politik.
Konflik kepemimpinan tampaknya berakhir setelah tanggal 20 Februari 1967,
ketika Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal
Soeharto selaku Pengemban Tap No. IX/MPRS/66. Demikianlah riwayat singkat
Supersemar.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SURAT PERINTAH
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik
baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima
Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan
djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi,
ABRI dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja
III. Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN
DARAT
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar
Revolusi:
1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk
terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan
dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S.
demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan
dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan
Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut
dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR
REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
SOEKARNO
Kekacauan pasca G30S berlanjut pada penyerahan Surat
Perintah Sebelas Maret (1966) kepada Soeharto oleh Soekarno. Setelah penyerahan
ini, Soekarno masih sebagai Presiden tituler sehingga terjadi kepemimpinan
ganda di negeri kita pada saat itu. Soeharto baru dilantik menjadi Presiden 2
tahun kemudian, yaitu pada tahun 1968.
Beberapa Kontroversi tentang Supersemar
Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD
yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam
perjalanan kembali ke
Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya
berkomentar "Lho ini khan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas
kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli
surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan
dimana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini
sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah
Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah
bank.
Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana
Bogor, Letnan Satu (lettu)
Sukardjo Wilardjito,
ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah
Reformasi 1998 yang juga menandakan
berakhirnya
Orde Baru dan pemerintahan Presiden
Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada
malam hari tanggal
11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga
perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen)
M. Panggabean.
Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo
Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen
Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar
Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat
Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang
saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah
para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan
pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani
surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi
sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika
keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan
kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari
istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno.
Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki
pasukan dari
RPKAD dan
Kostrad,
Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan
ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer.
Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah
satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral
(purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
Menurut Kesaksian
A.M. Hanafi dalam
bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta
besar Indonesia di
Kuba yang
dipecat secara tidak konstitusional oleh
Soeharto.
Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa
adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral
lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966
dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada
saat itu, Presiden Soekarno menginap di
Istana
Merdeka,
Jakartauntuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya.
Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah
menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya,
demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri
hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam)
Chaerul Saleh.
Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka
inilah yang pergi ke
Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang
berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana
yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar
Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta ijin untuk datang
ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah
membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno,
tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana
sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan
tank-tank ada di luar
jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno
menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab
dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan
menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral
Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam,
tidak hadir.
Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik
surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik
surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD
Ali Ebram, saat itu
sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing,
Ben Anderson,
oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut
mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar
Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut
Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Versi Resmi:
Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor
untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigjen M. Jusuf, Brigjen
Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam
hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden
Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan
bahwa Soeharto mampu menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila
diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya
untuk mengambil tindakan. Menurut M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno
hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal
sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Soeharto selaku panglima
Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan
dan ketertiban.
Kesaksian Lettu Sukardjo Wilardjito(pengawal kepresidenan
Istana Bogor):
Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki
Rahmat, dan Brigjen M.Panggabean pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul
01.00 datang ke Istana Bogor. Ia menuturkan adanya penodongkan pistol ke arah
Soekarno yang dimaksudkan untuk memaksa agar Presiden menandatangani sebuah surat.
Lalu Sukardjo membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden
Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan
menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan
setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih,
mandat itu harus segera dikembalikan.
M. Jusuf , M.Panggabean, dan A.M. Hanafi membantah peristiwa
itu.
Kesaksian A.M. Hanafi (mantan dubes Indonesia untuk Kuba
yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto) :
Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, untuk
keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri
atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari
kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di
Jakarta. A.M Hanafi sendiri hadir pada sidang itu bersama Waperdam Chaerul
Saleh. M.Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak
hadir. Namun ia sependapat dengan versi resmi yaitu bahwa ketiga jendral itulah
yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana
terlebih dahulu. Ketiga jendral ini datang baik-baik dengan membawa sebuah
teks. Di luar, istana sudah dikelilingi oleh banyak demonstrasi dan tank.
Karena keadaan tersebut, Soekarno akhirnya menandatangani teks Supersemar itu.
Keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah asli Supersemar
ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar,
terutama menyangkut tiga hal, masih belum menemukan titik terang.
Ketiga hal itu adalah pertama, mengenai teks. Kedua, terkait
proses mendapatkan surat itu. Ketiga, mengenai interpretasi isi perintah itu.
Naskah asli Supersemar sendiri hingga sekarang belum
ditemukan. Keluarnya surat itu tidak bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa
yang terjadi sebelumnya. Presiden Soekarno memiliki penafsiran berbeda dengan
kelompok Soeharto.
Dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia
terdiri dari beberapa versi. Namun, sebenarnya perbedaan antarnaskah, misalnya
mengenai tempat penandatanganan—apakah Jakarta atau Bogor—tidak mengubah
substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah itu—satu atau dua
halaman—itu hanya soal teknis.
Sudharmono mengatakan, surat itu digandakan atau difotokopi.
Namun, ternyata hal itu dibantah Moerdiono yang menegaskan, surat itu dironeo
(distensil).
Tampaknya awal tahun 1966 belum ada mesin fotokopi di Ibu
Kota. Dengan demikian, surat itu distensil. Jika itu yang terjadi, berarti
naskah diketik ulang. Maka tidak aneh jika terdapat berbagai perbedaan. Bahkan,
logo burung Garudanya terlihat seperti digambar dengan tangan.
Ketika biografi Jenderal Jusuf diterbitkan setelah ia
meninggal, masyarakat berharap menemukan titik terang. Ternyata Supersemar yang
dilampirkan bukanlah yang asli, paling tidak demikian menurut Kepala Arsip
Nasional, karena logo yang digunakan Garuda Pancasila, padahal lambang
kepresidenan adalah padi kapas.
Minimal kita berharap, draf pertama surat itu, draf kedua
yang sudah ditulisi komentar Soebandrio beserta tembusan ketiga dari teks asli
(yang tidak ditandatangani Presiden) yang semuanya dimiliki Jenderal Jusuf
dapat diserahkan kepada pemerintah.
Di bawah tekanan
Aspek kedua yaitu proses memperoleh surat itu perlu
dijelaskan kepada masyarakat, terutama kepada para siswa. Surat itu diberikan
bukan atas kemauan atau prakarsa Presiden Soekarno. Surat itu diberikan di
bawah tekanan, seperti terlihat dari rangkaian peristiwa berikut ini.
Tanggal 9 Maret 1966 malam, Hasjim Ning dan M Dasaad, dua
pengusaha yang dekat dengan Bung Karno, diminta Asisten VII Men/Pangad Mayjen
Alamsjah Ratu Perwiranegara untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaan
kepada Soeharto. Pada malam itu juga, keduanya mendapat surat perintah yang
ditandatangani sendiri oleh Men/Pangad Letjen Soeharto yang menyatakan bahwa
mereka adalah penghubung antara Presiden Soekarno dan Men/Pangad.
Hasjim Ning dan M Dasaad berhasil bertemu dengan Presiden
Soekarno pada 10 Maret 1966 di Istana Bogor. Hasjim Ning menyampaikan pesan
tersebut. Bung Karno menolak. Dengan amarah, Bung Karno berkata, ”Kamu juga
sudah pro-Soeharto!”
Dari sini terlihat bahwa usaha membujuk Soekarno telah
dilakukan, lalu diikuti dengan mengirim tiga jenderal ke Istana Bogor. Pagi 11
Maret 1966 dilangsungkan sidang kabinet di Istana yang dikepung oleh
demonstrasi mahasiswa besar-besaran serta didukung pasukan tertentu. Hal itu
mengagetkan Presiden yang memutuskan untuk menyingkir ke Istana Bogor.
Brigjen Kemal Idris saat itu mengerahkan sejumlah pasukan
dari Kostrad dan RPKAD untuk mengepung Istana. Tujuan utamanya adalah menangkap
Soebandrio yang berlindung di kompleks Istana. Memang pasukan-pasukan itu mencopot
identitas mereka sehingga tak mengherankan Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur
melaporkannya sebagai ”pasukan tidak dikenal” kepada Bung Karno. Letjen
Soeharto sendiri tidak hadir dalam sidang kabinet dengan alasan sakit. Bila dia
ada, tentu Bung Karno akan memerintahkannya untuk membubarkan demonstrasi
gabungan mahasiswa-tentara itu.
Sebetulnya banyak faktor yang terjadi sebelum 11 Maret 1966
yang semuanya menjadikan semacam ”tekanan” terhadap Presiden Soekarno. Dan,
puncak dari tekanan itu datang dari ketiga jenderal itu. Bila tidak ada
demonstrasi dari mahasiswa dan pasukan tak dikenal yang mengepung Istana, tentu
peristiwa keluarnya Supersemar di Bogor tidak/belum terjadi.
Kesimpulan
Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang disingkat menjadi
Supersemar sebenarnya adalah surat kuasa dari Presiden Sukarno kepada Jenderal
Suharto untuk mengamankan dan memulihkan keamanan negara Indonesia setelah
terjadi pemberontakan oleh Gerakan 30 September 1965/PKI namun karena kesalahan
penafsiran dalam menyikapi Supermar maka terjadi perbedaan pendapat yang
menimbulkan kontroversi dikemudian hari.
Perbedaan penafsiran berpangkal dari kalimat dalam
Supersemar yang berbunyi “mengambil segala tindakan yang dianggap
perlu”.Padahal,perintah untuk militer harus tegas batas-batasnya,termasuk waktu
pelaksanaanya.